Sangatta…Anggota DPRD Kutim, Arfan menilai meskipun ada kenaikan harga tandan buah segara (TBS) , namun itu tidak mampu menutupi biaya produksi para petani sawit. Pasalnya hingga kini masih banyak petani yang memilh tidak memanen sawit mereka, agar tidak menambah kerugian.
“Waktu petani demo, beberapa perusahan akhirnya ada menaikan harga TBS, dari Rp400 – 500 ke Rp900 namun, itupun tidak bisa menutupi biaya produksi,” katanya.
Ada pula, perusahan yang menerima harga Rp1300, sama dengan harga yang ditetapkan Dinas Perkebunan Provinsi. Hanya saja, ini terlalu banyak syarat, akhirnya tidak ada petani yang mau jual ke sana. Sebab syaratnya, diantaranya, harus ada kepastian kalau TBS itu dipetik dai lahan yang memang berada di lahan dengan status areal penggunaan lain (APL), bukan hutan lindung dan hutan konservasi.
Bukan hanya itu, ada ketentuan, jangka waktu pemetikan, tidak bisa lewat dari 24 jam, untuk sampai ke pabrik. TBS yang belum matang, tidak bisa diterima. Dengan berbagai persyaratan itu, maka penampung atau tengkulak akan rugi. Sebab, jika ada 8 ton TBS yang dikirim, bisa dikembalikan 2 ton, sehingga ruginya lebih para. “jadi kalau sapu rata hanga Rp900, ada yang berikan Rp1300, tapi syaranya sangat ketat, makanya merugikan. Karena itu, banyak petani sawit saat ini, yang masih tetap tidak mau panen, agar tidak menambah kerugian,” katanya.
Dikatakan, solusi yang mungkin bisa dilakukan dengan mendirikan pabrik CPO mini. Sebab, kalau pabrik besar, itu ada aturan dilaraang membangun pabrik tanpa kebun. Selain itu, biaya mendairikan pabrik CPO mini, tidak besar.
Hal sama diakui Joko, salah seorang petani Sawit di Telukpandan. “Saya malas panen, karena biaya panen lebi besar dari harganya,” katanya.
Diakui, memang ada kenaikan, karena ditingkat petani sekarang harga sawit sudah Rp650 per kg, naik dari Rp400 per kg, namun itu tetap tidak memberikan hasil. “kalau harga Rp1000 per kg, itu mungkin bisa diterima, namun kalau harganya masih Rp600, masih rugi,” katanya