Sangatta. Imbas dari anjloknya harga komoditas sawit yang mencapai Rp 400 rupiah per kilogram membuat seluruh petani sawit di Kutai Timur berteriak dan kebingungan. Pasalnya, berton-ton tandan segar buah sawit yang mereka panen tidak dibeli para pengusaha sawit yang memiliki pabrik minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO). Imbasnya, petani ada membakar hasil panen mereka, ada pula yang menebang pohon sawit yang ada, dan menjadikan umbut sawit sebagai masakan sayur untuk dimakan sehari-hari.
Menurut anggota DPRD Kutim, Arfan dalam hasil resesnya pada daerah pemilihan (Dapil)nya di sejumlah kecamatan, permasalahan anjloknya harga sawit menjadi topic utama pembahasan. Bahkan ada di salah satu kecamatan, dimana warganya menyuguhkan sayur dari hasil olahan umbut sawit, sebagai hidangan makan. Hal ini cukup mengejutkan sekaligus menyayat hati.
Pasalnya harga jual sawit yang hanya Rp 400 per kilogram tidak sebanding dengan membayar upah panen sawit sebesar Rp 250 per kilogram, ditambah lagi biaya lainnya yang juga tidak tertutupi. Sementara jika tidak dipanen, maka kualitas tandan segar buah sawit pada panen berikutnya dijamin tidak akan bagus. Sehingga setelah dipanen, tandan buah segar hanya dibirkan tergeletak mongering dan kemudian dibakar. Sedangkan pohon sawit ada yang ditebang dan umbutnya diambil untuk dijadikan lauk sayur teman makan sehari-hari.
Lebih jauh Arfan yang merupakan Politisi Partai Nasdem (Nasional Demokrasi) dan juga Ketua Komisi A DPRD Kutim ini mengatakan, sudah saatnya Pemerintah Kutim mengambil sikap tegas dan langkah kongkrit terkait permasalahan anjloknya harga sawit ini. Jangan sampai nasib petani sawit dan buruh sawit di Kutim terancam kesejahteraannya.
Sementara pilihan masyarakat untuk beralih dari petani konvensional menjadi petani sawit, bermula dari bujukan dan janji pemerintah bahwa dengan berkebun sawit akan mendatangkan hasil dan keuntungan besar yang sangat menjanjikan kesejahteraan bagi masa depan masyarakat.