Puncak Erau Kutai 2025, Ribuan Warga Penuhi Tenggarong Rayakan Belimbur dan Mengulur Naga
Tenggarong – Prosesi mengulur naga dan belimbur merupakan acara puncak dari Erau yang menandai akan segera berakhirnya rangkaian acara adat Erau Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Belimbur dilakukan dengan memercikan air, dimana nanti setelah naga diulur akan diambil air tuli yang dibawa dari perairan Kutai Lama tempat asal mula berdirinya kerajaan Kutai Kartanegara.
“Ini adalah momentum, betapa budaya adalah denyut nadi masyarakat Kutai, atas nama Pemerintah Provinsi Kaltim, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada Pemerintah Kabupaten kutai Kartanegara (Kukar), Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dan seluruh masyarakat yang telah merawat dan memeriahkan perhelatan akbar Erau ini ,” kata Wakil Gubernur Kaltim Seno Aji di acara Mengulur Naga dan Belimbur, di Museum Negeri Mulawarman Tenggarong, Minggu (28/9/25).
Lebih lanjut kata Seno, Erau bukan hanya sekedar pesta rakyat, tapi juga napas peradaban, tradisi yang selalu ada yaitu mengulur naga melambangkan kebaikan yang mengalir dalam kehidupan masyarakat, sedangkan belimbur menjadi simbol mensucikan diri , solidaritas dan kegembiraan bersama. Nilai – nilai tersebut tidak hanya memperkaya identitas Kutai, tapi juga mengajarkan arti kebersamaan gotong royong keharmonisan dalam bermasyarakat.
“Erau merupakan aset berharga, menjadi motor penggerak wisata dan ekonomi kreatif serta promosi budaya internasional, Erau masuk dalam event kalender internasional yang dapat memperkuat branding Kaltim sebagai destinasi budaya,”sebutnya.
Sementara Bupati Kukar Aulia Rahman Basri mengatakan dari mengulur naga dan belimbur ada beberapa nilai – nilai yang bisa diambil hikmahnya, yaitu nilai kesakralan, dalam prosesi ada tahapan – tahapan yang harus dilalui yang tidak boleh dilompati, sehingga kesakralan dari acara bisa dijaga keabadiannya. Selanjutnya nilai yang bisa diambil adalah kesucian, dengan dikenakannya air ke badan dari air proses belimbur akan akan mensucikan diri.
“Dari belimbur juga, kita bisa mengambil hikmah syukur, dari proses ini seluruh masyarakat Kukar merayakan kesyukuran bahwa kita telah melaksanakan adat Erau dan diberikan nikmat oleh Allah SWT tinggal di Kukar dan kita juga bisa mengambil hikmah dari kesabaran dengan menyiramkan air kepada orang lain tidak boleh marah dan malah berbahagia dengan disiramkannya air belimbur tersebut,” kata Aulia.
Ia berharap dengan nilai – nilai yang ditanamkan saat melakukan proses sakral bisa diterapkan dalam kehidupan sehari – hari dan akan membawa kabupaten Kukar yang damai dan membawa kemakmuran bagi seluruh warga masyarakat Kukar. “Atas nama Pemkab Kukar mengapresiasi kegiatan Erau ini, kita harus menjunjung tinggi adat dan adab budaya yang dimiliki dan tepat hari ini Tenggarong genap berusia 243 Tahun, kita berharap Tenggarong semakin berbenah sebagaimana kita ketahui, Tenggarong adalah etalase Kukar, orang akan melihat Kukar sebagaimana orang akan melihat Tenggarong, karena Tenggarong kota warisan budaya dengan banyaknya bangunan heritage cagar budayanya dan orang yang tinggal di Kukar akan merasakan kebahagian dan kedamaian,”harap Aulia.
Setelah upacara pelepasan rombongan pembawa naga ke Kutai Lama, acara dilanjutkan dengan ritual beumban, begorok dan rangga titi. Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura ke XXI H Aji Muhammad Arifin dibaringkan diatas kasur berbungkus kain kuning. Tubuh Sultan kemudian diselimuti dengan kain kuning dan seorang sesepuh akan melakukan ritual, selanjutnya upacara begorok, dimana Sultan duduk diatas balai bambu kuning yang memiliki 41 tiang dan ritual pun kembali dilaksanakan dan yang terakhir adalah rangga titi, Sultan yang diiringi kerabat keraton, Ratu Sekar Asih, Bupati Kukar Aulia rahman Basri, Wakil Gubernur Kaltim Seno Aji, Wakil Bupati Kukar H Rendi Solihin, Sekda Kabupaten Kukar H Sunggono,Jajaran Forkopimda Provinsi, Forkopimda Kabupaten Kukar dan undangan lainnya menuju dermaga. Selanjutnya Sultan duduk diatas balai bambu. Sedangkan dewa dan belian mengucapkan mantra dan melakukan ritual tempong tawar. Sultan memasukkan bunga pohon pinang kedalam guci berisi air Kutai Lama, kemudian memercikan air dengan tangannya kepada para kerabat dan tamu undangan. Prosesi tersebut menjadi pertanda dimulainya ritual belimbur oleh masyarakat. (*)
